Puisi Joko Pinurbo
Pemeluk Agama
Dalam doaku yang khusyuk
Tuhan bertanya kepadaku,
hambaNya yang serius ini,
”Halo, kamu seorang pemeluk agama?”
”Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan.”
”Lho, Teguh si tukang bakso itu
hidupnya lebih oke dari kamu,
gak perlu kamu peluk-peluk.
Benar kamu pemeluk agama?”
”Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan.”
”Tapi Aku lihat kamu gak pernah
memeluk. Kamu malah menyegel,
membakar, merusak, menjual
agama. Teguh si tukang bakso itu
malah sudah pandai memeluk.
Benar kamu seorang pemeluk?”
”Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan.”
Tuhan memelukku dan berkata,
”Doamu tak akan cukup. Pergilah
dan wartakanlah pelukanKu.
Agama sedang kedinginan dan kesepian.
Dia merindukan pelukanmu.”
(jokpin, 2015)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Puisi Joko Pinurbo
Perjamuan Mutakhir
Ia duduk di depan meja yang dikelilingi
dua belas piring lapar. Ia membuka kitab
dan menemukan menu baru
di antara ayat-ayat makanan.
”Maaf, menu yang tuan pesan
sedang habis,” cetus imam rumah makan.
Ia menutup kitab, lalu berkata,
”Biarlah piring-piring ini berlalu
dari hadapanku. Sesungguhnya
tubuhku pun kian habis dimakan makanan.”
(jokpin, 2015)
Sumber :
Kompas Minggu 09-08-2015
Profil Joko Pinurbo
Puisi Joko Pinurbo
Punggungmu
Ibu kota Jakarta adalah punggungmu.
Punggung yang sabar menanggung beban
kerjamu,
bangun pagimu,
pulang malammu,
perjalanan macetmu,
pegal-pegalmu,
masuk anginmu,
ingin ini ingin itumu,
kenapa begini kenapa begitumu,
aku kudu piyemu,
tunjangan kesepianmu,
jaminan kewarasanmu,
surga sementaramu,
yang berhenti di ngantuk matamu.
Mata yang masih bisa bilang
”selamat pulang, pejuang”
walau perjuanganmu gugur di tempat tidur.
Jalan Kecantikan
Kau telah menemukan jalanmu:
jalan berliku dan berbatu-batu
menuju mata airmu di celah bukit itu.
Malam meremangredupkan cahaya.
Sunyi meninabobokan suara.
Kecantikanmu terbuat dari mata
yang tak hangus oleh air mata,
bibir yang mampu mengatasi gincu,
kaki yang lebih kenangan dari sepatu,
hati yang melampaui hati-hati.
Minggu Biru
Di Minggu pagi yang biru
ia muncul di depan rumah,
meniup lampu yang masih menyala di beranda
dan menjamah kucing
yang tidur total di depan pintu.
”Semalam kudengar ngeongmu
dalam sajak gelap yang diobrak-abrik insomnia.
Kini aku menemukanmu
sedang nyenyak di luar kata.”
Ia membuka payung,
membuka hatinya yang suwung,
dan berjalan menyusuri lorong di tengah hujan,
kucingnya yang biru
lelap dalam dekapan.
”Ini kucingku,” katanya kepada anjing bin asu
yang melolong di tikungan.
Buku Latihan Tidur
Malam-malam ia suka bermain kata
bersama buku latihan tidur. Buku latihan tidur
memintanya terpejam dan tersenyum
sambil membayangkan bahwa di ujung tidur
ada sungai kecil yang merdu. Buku latihan tidur
kemudian mengucapkan sebuah kalimat dan ia balas
dengan kalimatnya sendiri. Begitu seterusnya
sampai buku latihan tidur mengantuk
dan tak sanggup berkata-kata lagi.
Gantungkan cita-citamu setinggi gunung.
Gantungkan terbangmu pada sayap burung-burung.